Jumat, 02 Desember 2016

Jurnal mengenai Going Concern

ANALISIS PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KEMUNGKINAN PEMBERIAN OPINI AUDIT GOING CONCERN OLEH AUDITOR INDEPENDEN

Peran investor saat ini turut memberikan andil besar dalam mendanai kegiatan operasional perusahaan melalui penanaman modal saham dan tentunya mengharapkan adanya return yang besar atas investasi yang telah dilakukannya. Oleh karena itu dalam menjalankan usahanya, perusahaan dituntut tidak hanya meningkatkan laba semata, melainkan mengoptimalisasi kinerja perusahaan agar terhindar dari kesulitan keuangan, sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup (going concern) usahanya secara terus menerus dan menerima opini audit non going concern dari auditor.
Going concern merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan. Asumsi ini mengharuskan perusahaan memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern). Menurut Prapitorini dan Januarti (2007), kelangsungan hidup suatu usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan. Jadi, bila auditor mengeluarkan opini going concern atas laporan keuangan perusahaan, hal ini berarti auditor menemukan adanya kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Going concern adalah kelangsungan hidup entitas dan merupakan asumsi dalam pelaporankeuangan, sehingga jika entitas mengalami kondisi yang berlawanan dengan asumsi kelangsungan usaha, maka entitas tersebut menjadi bermasalah (Petronila, 2004). Dengan adanya going concernmaka suatu entitas (perusahaan) dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP, 2004) maka dapat disimpulkan  bahwa opini audit going concernmerupakan opini yang diberikan oleh auditor untuk memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Auditor melalui opininya terangkum dalam laporan audit mulai diminta tanggung jawabnya untuk mengungkapkan kelangsungan usaha suatu entitas (Solikah, 2007). Auditor juga bertanggung jawab untuk menilai apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan audit (SPAP Seksi 341, 2001).

          Penilaian dan opini auditor terhadap status kelangsungan hidup perusahaan sangat dibutuhkan para pengguna laporan keuangan terutama pihak investor dalam membuat keputusan investasi. Oleh karena itu auditor berperan penting dalam menjembatani antara kepentingan pengguna laporan keuangan termasuk investor dengan kepentingan perusahaan sebagai penyedia laporan keuangan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan akan lebih dipercaya oleh investor dan pengguna laporan keuangan lainnya apabila auditor mengeluarkan opini audit wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan perusahaan sehingga dapat menjamin angka–angka akuntansi yang disajikan telah diaudit bebas dari salah saji material.  Dengan menggunakan laporan keuangan  yang telah diaudit, maka pemakai laporan keuangan dapat mengambil keputusan dengan benar sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya (Komalasari, 2004).
          Menurut Allan Chang (2004) dalam Iskandar et al., (2011) going concern adalah masalah yang paling umum yang timbul dari peningkatan kerugian, penurunan operasi, restruksturisasi dan pembubaran bisnis untuk perusahaan dengan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria probabilitas pemberian opini going concern oleh auditor tidak hanya berasal dari kinerja keuangan perusahaan yang seringkali diukur menggunakan rasio keuangan seperti pada penelitian–penelitian terdahulu, melainkan dapat juga diukur dari tata kelola perusahaan (corporate governance) itu sendiri.
Organization of Economics Coorporation and Development (OECD, 2004) mendefinisikan Corporate Governancsebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari Corporate  Governance juga menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerjanya dapat. Dieprtanggungjawabkan dan dilakukan dengan baik.
Perhatian akan corporate governance di Indonesia muncul karena terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1999 yang kemudian berkembang menjadi krisis yang berkepanjangan. Krisis tersebut antara lain  terjadi karena banyak perusahaan yang belum menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika bisnis. Untuk mengatasi masalah tersebut, berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 dibentuklah  Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang  mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance yang pertama dan telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2004. Pedoman ini dikeluarkan bagi semua perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan yang beroperasi atas dasar prinsip syariah dengan memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan Good Corporate Governance.

Selain peraturan tersebut, pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan yang mengharuskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menerapkan prinsip-prinsip corporate governance. Peraturan tersebut diantaranya yaitu: (1).Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/PM PBUMN/2000 tanggal 31 Mei 2000 Tentang Pengembangan Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan Perseroan; (2).Surat Edaran Menteri PM-PBUMN No. S-106/M- PM.PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal penerapan GCG yang baik  pada BUMN di Indonesia; (3).Keputusan Menteri Negara BUMN No. KEP-117/M- MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan usaha milik Negara. Keberadaan peraturan-peraturan tentang penerapan prinsip-prinsip corporate governancetersebut diharapkan dapat membawa tata kelola dan kinerja perusahaan kearah yang lebih baik lagi, sehingga keberlangsungan perusahaan  pun dapat terjaga. Namun pada kenyataannya, masih terdapat perusahaan yang belum menerapkan prinsip-prinsip corporate governance secara konsisten, sehingga menyebabkan timbulnya skandal pelaporan keuangan. PT. Kimia Farma Tbk. terdeteksi memanipulasi laporan keuangan dengan menaikan laba hingga Rp 32,7 milyar. PT. Indofarma melakukan praktik earning management dengan menyajikan overstated laba bersih senilai Rp 28,870 milyar, sebagai dampak dari penilaian persediaan barang dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok penjualan tahun tersebut understated

Tidak ada komentar:

Posting Komentar