Kamis, 14 November 2013

Rani dan Sejuta Mimpi


Seandainya tak ada dosa yang di jatuhkan bagi orang yang bunuh diri, mungkin ia memutuskan untuk bunuh diri saat ini juga. Selama 19 tahun, Rani tak pernah mengeluh dengan kondisinya. Tapi, kali ini ia merasa seperti makhluk yang paling tidak berguna.
“Sabar ya, nak” ucap bu Murni sambil mengelus rambut anaknya yang sedang menangis.
“Aku capek, bu! Entah siapa yang salah di dunia ini. Kenapa ga ada yang mau nerima aku kerja cuma karna aku cacat?! Aku gak punya kaki, tapi aku punya kewajiban yang sama kayak orang-orang normal lainnya!” isaknya semakin menjadi.
“Maafin ibu ya, nak. Ibu ga bisa nguliahin kamu” kali ini bu Murni tidak bisa menahan bendungan air matanya.
                                                                        ***
            Rani menangis sepanjang hari. Ia tidak bisa menahan rasa sakit yang ia terima atas keadaan yang begitu mengujinya. Sadar akan keadaanya yang tidak mampu melanjutkan kuliah, Rani pun memutuskan untuk mencari kerja tapi semua tempat yang ia lamar slalu menolak dengan alasan yang sama. Bahkan ada yang mengusirnya sebelum sempat ia menyampaikan maksud kedatangannya.
“Nak, makan dulu yuk! Kamu belum makan dari pagi” dengan sabar bu Murni membujuk anaknya.
“Aku gak lapar, bu” sahut Rani dengan sura serak-serak sisia tangisnya.
“Nak, kamu mesti kuat! Tuhan ga akan ngasih ujian kalo kamu gak mampu. Ibu yakin kamu akan jadi orang sukses tapi, kamu harus kuat! Ibu sayang kamu, ibu sedih lihat kamu kayak gini” Rani memeluk ibunya erat. Di satu sisi, ia sangat menyesali keadaanya saat ini tapi, di sisi lain ia merasa sangat beruntung mempunyai ibu seperti bu Murni. Sosok wanita tangguh, yang di tinggal suaminya 5 tahun yang lalu namun, masih tetap menyayangi anaknya dengan sepenuh hati.
                                                                        ***
            Mata rani tertuju pada embun-embun di dedaunan yang berjatuhan ke tanah. Rasanya ingin sekali ia mencurahkan segala keluh kesahnya selain kepada bu Murni karena, ia sudah tidak ingin melihat ibunya sedih lebih dalam lagi. Diambilnya sehelai kertas dan sebuah pena lalu, tangannya mulai menulis hingga tanpa sadar ia meneteskan bulir-bulir bening dari sudut matanya.
                                                                        ***
            Akhir-akhir ini, Rani menghabiskan waktunya untuk menulis. Ia menuliskan semua kisah-kisah pilunya.  Ia merasa ada ketenangan dan kepuasan tersendiri  usai menulis. Suara ketukan dari arah pintu kamar, membuatnya agak terkejut.
“Luna…!!!” teriakan Rani setelah melihat wajah orang yang tadi mengetuk pintu kamarnya.
“Hai, Raniiii. Gimana kabarnya? Aku kangen banget nih ama kamu” cerocos Luna tanpa jeda.
Luna merupakan sahabat baik Rani semasa SMA. Wajah cantik dengan rambut panjang dan kulit putihnya semakin terlihat sempurna karna kecantikan hatinya. Ia masih mau berteman dengan Rani di saat yang lain justru menjauhinya.
                                                                        ***
            Tawa lepas Rani dan Luna menggema ketika mereka sedang ngobrol-ngobrol seru. Di saat-saat seperti inilah Rani mampu melupakan semua keluh kesahnya . Mata Luna tertuju pada tumpukan kertras yang bertengger di meja belajar Rani.
“Eh apa nih?” Tanya Luna seraya mengambil tumpukan kertas itu.
“Jangan Lun, jangan di baca please!” reflex Rani berusaha merebut kertas-kertas itu.
“Ran, kita ini udah kenal lama kan? Masih main rahasiah-rahasiahan?” tukas Luna.
Rani tak mampu melarangnya lagi kali ini, ia pasrah. Luna meneteskan air mata. Rani yang sejak tadi hanya memandanginya  merasa heran.
“Kenapa nangis, Lun?”
“Tulisan kamu bagus banget, Ran”
“Bagus apanya? Itu cuma luapan emosiku aja Lun”
“Iya, aku tau tapi ini bagus Ran! Nih liat aku aja sampe mewek gini. Mendingan kamu beresin ni tulisan, terus coba kirimin ke penerbit deh” Luna mengeluarkan suaranya dengan mengebu-gebu.
Rani hanya tertawa menanggapinya.
“Eh, malah ketawa. Aku serius loh, tulisanmu bagus, Ran! Kalau dari dulu kamu nulis dan rajin ngirim tulisan ke penerbit pasti novel-novel karyamu udah berjajar sekarang”
“Ah masa sih, Lun?”
                                                                        ***
            Setelah seminggu Luna menyarankan Rani untuk mengirimkan tulisannya ke penerbit, akhirnya ia nurut juga. Toh tidak ada salahnya mencoba. Hati kecilnya slalu berharap untuk kehidupan yang lebih baik.
                                                                        ***
            Tiga bulan berlalu, Rani terus mengisi waktunya untuk menulis. Surat yang dikirim dari penerbit terkenal tempat Rani mengirimkan tulisannya akhirnya tiba di rumah. Hatinya ketar-ketir, ia penasaran dengan keputusan si penerbit. Apakah berisi MOU penerbit atau malah surat penolakan? Ia tak , mampu menahan rasa penasarannya lebih lama lagi sampai akhirnya ia membaca surat itu. Ya, surat yang di tunggu-tunggu ternyata berisi penolakan. Ya, Tuhan! Ujian macam apa lagi ini?!
                                                                        ***
           
Bu Murni yang mengetahui kesedihan anaknya, tidak ingin tinggal diam.
“Nak, semua butuh proses. Ga ada yang instan di dunia ini. Gagal lebih baik loh dari pada ga nyoba sama sekali. Sekarang ibu mau tanya, apa yang paling kamu mau saat ini?” nada lembut bu Murni saat berbicara slalu bisa menenangkan Rani.
“Aku mau kehidupan kita lebih baik bu. Aku ga mau cacat tanpa prestasi”
“Nah, kalau gitu jadiin hal itu sebagai motivasi kamu. Ibu bantu d’oa kok. Kamu harus punya cita-cita, nak jangan takut punya mimpi yang tinggi” kalimat bu Murni benar-benar mampu menge,balikan semangat Rani.
                                                                        ***
            Twitter yang sudah beberapa minggu tak tersentuh oleh Rani, kali ini menemani hari minggunya. Matanya berhenti di salah satu postingan yang berisi sayembara menulis novel dengan hadiah beasiswa pendidikan di Australia. Rani langsung menyimpan informasi tersebut. Senyum mengembang di bibirnya, dan batinnya bergeming “tidak ada salahnya mencoba!”.
                                                                        ***
Seminggu sebelum deadline lomba ditutup. Rani sudah menyelesaiakn tulisannya. Namun, ia tak  ingin terburu-buru mengumpulkan novel yang telah dibuat. Ia memeriksa lagi tulisannya khawatir ada kesalahan-kesalahan kecil yang mempengaruhi penilaian juri. Benar saja, ada beberapa kalimat yang salah ketik, dan kurang tanda baca. Usai membenahi tulisannya, ia masih ingin mengecek ulang untuk meyakinkan. Merasa puas dengan hasil karyanya, Rani pun akhirnya mengirimkan tulisannya. Tangannya mengklik tulisan “kirim” di tab e-mail seraya hatinya berharap agar ada angin segar dari tulisannya kali ini.
                                                                        ***
            Setelah 2 bulan menunggu proses penilaian, akhirnya datang juga hari pengumuman. Harap-harap cemas Rani menunggu hasil. Rani sudah bersiap di depan laptop bersama ibunya. Tangannya menggerakan kursor pada link “lihat pengumuman” sementara hatinya terus mengucap do’a. Di kliknya link tersebut, dan…. Oh Tuhan! Ini mimpi! Rani dan ibunya terkejut bukan main. Bu Murni mengucek matanya lalu kembali ke laptop melihat nama siapa yang terpampang disana sebagai pemenang.
“Ibu…..!!! Rani menang! Rani bakal kuliah ke Australia bu”!
Bu Murni memeluk anaknya dengan erat. Bangga bercampur haru menguasai dirinya.
“Ibu sudah bilang kan nak, jangan pernah takut punya mimpi yang tinggi”
“Makasih bu, pasti ini berkat do’a ibu juga”
Keterbatasan Rani ternyata tak lantas membuatnya pasrah. Dirinya semakin yakin dengan mimpi-mimpinya yang masih terus ia rajut.
                                                                        ***

Nilai-Nilai Prosa Fiksi



Sebagai seni yang bertulang panggung cerita, mau tidak mau karya sastra (prosa fiksi) langsung atau tidak langsung membawa moral, pesam atau cerita. Dengan perkataan lain prosa mempunyai nilai-nilai yang diperoleh pembaca lewat sastra antara lain :
1. Prosa fiksi memberikan kesenangan
Keistimewaan kesenagan yang diperoleh dari membaca fiksi adalah pembaca mendapatkan pengalaman sebagaimana mengalaminya sendiri peristiwa itu atau kejadian yang dikisahkan. Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum dikunjunginya atau yang tidak mungkin dikunjungi selama hidupnya. Pembaca juga dapat mengenal tokoh-tokoh yang aneh atau asing tingkah lakunya atau mungkin rumit perjalanan hidupnya untuk mencapai sukses.

2. Prosa fiksi memberikan informasi
Fiksi memberikan sejenis informasi yang tidak terdapat di dalam ensiklopedi. Dalam nivel sering kita dapat belajar sesiatu uang lebih daripada sejarah atau lapiran jurnalistik tentang kehidupan masa kini, kehidupan masa lalu, bahkan juga kehiduoab yang akan dating atau kehidupan yang asing sama sekali.

3. Prosa fiksi memberikan warisan kultural
Prosa fiksi dapat menstimulai imajinasi, dan merupakan sarana bagi peminfajan uang tak henti-hentinya dan warisan budaya bangsa. Novel se[erti Siti Nurbaya, salah asuhan, sengsara membawa nikmat, layar terkembang mengungkapkan impian-impian, harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dari generasi yang terdahulu yang seharusnya dihayati oleh generasi kini. Novel yang berlatar belakang perjuangan revolusi seperti jalan taka da ujung, missal menggambarkan suatu tindakan heroism yang mengagumkan dan memberikan kebanggaan, yang oleh generasi muda sekarang tidak lagi mengalami secara fisik. Dan oleh karena mahasiswa tidak mengalami secara fisik itulahm jiwa kepahlawanan perlu disentuh melalui hasil-hasil sastra.

4. Prosa memberikan keseimbangan wawasan
Lewat prosa fiksi seseorang dapat menilai kehidupan berdasarkan pengalaman-oengalan dengan banyak individu. Fiksi juga memungkinkan lebih banyak kesempatan untuk memilih respon-respon emosional atau rangsangan aksi yang mungkin sangat berbeda darioada aoa yang disajikan dalam kehidupan sediri.
Adanya semacam kaidah kemungkinan yang tidak munkindalam fiksi inilah yang memungkinkan pembaca untuk dapat memperluas dan memperdalam persepsi dan wawasannya tentang tokoh, hidup dan kehidupan manusia. Dari banyak memperoleh pengalaman sastra, pembaca akan terbentuk keseimbangan wawasannya, terutama dalam menghadapi kenyataan-kenyataan di luar dirinya yang mungkin sangat berlainan dari pribadinya. Seorang dokter yang dianggap memiliki status social tinggi, tetapi tenyata mendatangi perempuan simpanannya walaupun denga alasan-alasan psikologis, seperti dikisahkan dalam novel belenggu, adalah cintih kemungkinan yang tidak mungkin. Tetapi justru dari sinilah pembaca memperluas perspektifnya tentang  kehidupan manusia.
Berkenaan dengan moral, karya sastra dapat dibagu menjadi dua; Karya sastra yang menyearakan aspirasi jamannya, dan karya sastra yang menyuarakan gejolak jamannya. Ada juga yang tentunya menyuarakan kedua-duanya.
Karya sastra yang menyuarakan aspirasi jmannya mengajak pembaca untuk mengikuti apa yang dikehendaki jamannya. Kebanyakan karya sastra Indonesia di jaman Jepang yang dikelompokkan ke dalam kelompok ini.
Karya sastra yang menyuarakan jamannya, biasa tidak mengajak pembaca untuk melakukan sesuaty, akan tetapi untuk merenung. Kedua macam karya sastra itu selalu menyampaikan masalah. Masalah ini disampaikan dengan jalan menyajikan interaksi tokoh-tokohnya. Masing-masing tokoh mempunyai temperamen, pendirian, dan kemauan yang berbeda-beda. Perbedaan ini menimbulkan konflik. Konflik dapat terjadi baik di dalam tokoh sendiri maupun diantara tokoh satu dengan lainnya.