Seandainya tak ada dosa yang di jatuhkan bagi orang yang bunuh diri,
mungkin ia memutuskan untuk bunuh diri saat ini juga. Selama 19 tahun, Rani tak
pernah mengeluh dengan kondisinya. Tapi, kali ini ia merasa seperti makhluk
yang paling tidak berguna.
“Sabar ya, nak” ucap bu Murni sambil mengelus rambut anaknya yang sedang
menangis.
“Aku capek, bu! Entah siapa yang salah di dunia ini. Kenapa ga ada yang
mau nerima aku kerja cuma karna aku cacat?! Aku gak punya kaki, tapi aku punya
kewajiban yang sama kayak orang-orang normal lainnya!” isaknya semakin menjadi.
“Maafin ibu ya, nak. Ibu ga bisa nguliahin kamu” kali ini bu Murni tidak
bisa menahan bendungan air matanya.
***
Rani menangis sepanjang
hari. Ia tidak bisa menahan rasa sakit yang ia terima atas keadaan yang begitu
mengujinya. Sadar akan keadaanya yang tidak mampu melanjutkan kuliah, Rani pun
memutuskan untuk mencari kerja tapi semua tempat yang ia lamar slalu menolak
dengan alasan yang sama. Bahkan ada yang mengusirnya sebelum sempat ia
menyampaikan maksud kedatangannya.
“Nak, makan dulu yuk! Kamu belum makan dari pagi” dengan sabar bu Murni
membujuk anaknya.
“Aku gak lapar, bu” sahut Rani dengan sura serak-serak sisia tangisnya.
“Nak, kamu mesti kuat! Tuhan ga akan ngasih ujian kalo kamu gak mampu.
Ibu yakin kamu akan jadi orang sukses tapi, kamu harus kuat! Ibu sayang kamu,
ibu sedih lihat kamu kayak gini” Rani memeluk ibunya erat. Di satu sisi, ia
sangat menyesali keadaanya saat ini tapi, di sisi lain ia merasa sangat
beruntung mempunyai ibu seperti bu Murni. Sosok wanita tangguh, yang di tinggal
suaminya 5 tahun yang lalu namun, masih tetap menyayangi anaknya dengan sepenuh
hati.
***
Mata rani tertuju pada
embun-embun di dedaunan yang berjatuhan ke tanah. Rasanya ingin sekali ia
mencurahkan segala keluh kesahnya selain kepada bu Murni karena, ia sudah tidak
ingin melihat ibunya sedih lebih dalam lagi. Diambilnya sehelai kertas dan
sebuah pena lalu, tangannya mulai menulis hingga tanpa sadar ia meneteskan bulir-bulir
bening dari sudut matanya.
***
Akhir-akhir ini, Rani
menghabiskan waktunya untuk menulis. Ia menuliskan semua kisah-kisah
pilunya. Ia merasa ada ketenangan dan
kepuasan tersendiri usai menulis. Suara
ketukan dari arah pintu kamar, membuatnya agak terkejut.
“Luna…!!!” teriakan Rani setelah melihat wajah orang yang tadi mengetuk
pintu kamarnya.
“Hai, Raniiii. Gimana kabarnya? Aku kangen banget nih ama kamu” cerocos
Luna tanpa jeda.
Luna merupakan sahabat baik Rani semasa SMA. Wajah cantik dengan rambut panjang
dan kulit putihnya semakin terlihat sempurna karna kecantikan hatinya. Ia masih
mau berteman dengan Rani di saat yang lain justru menjauhinya.
***
Tawa lepas Rani dan
Luna menggema ketika mereka sedang ngobrol-ngobrol seru. Di saat-saat seperti
inilah Rani mampu melupakan semua keluh kesahnya . Mata Luna tertuju pada
tumpukan kertras yang bertengger di meja belajar Rani.
“Eh apa nih?” Tanya Luna seraya mengambil tumpukan kertas itu.
“Jangan Lun, jangan di baca please!” reflex Rani berusaha merebut
kertas-kertas itu.
“Ran, kita ini udah kenal lama kan? Masih main rahasiah-rahasiahan?”
tukas Luna.
Rani tak mampu melarangnya lagi kali ini, ia pasrah. Luna meneteskan air
mata. Rani yang sejak tadi hanya memandanginya
merasa heran.
“Kenapa nangis, Lun?”
“Tulisan kamu bagus banget, Ran”
“Bagus apanya? Itu cuma luapan emosiku aja Lun”
“Iya, aku tau tapi ini bagus Ran! Nih liat aku aja sampe mewek gini.
Mendingan kamu beresin ni tulisan, terus coba kirimin ke penerbit deh” Luna
mengeluarkan suaranya dengan mengebu-gebu.
Rani hanya tertawa menanggapinya.
“Eh, malah ketawa. Aku serius loh, tulisanmu bagus, Ran! Kalau dari dulu
kamu nulis dan rajin ngirim tulisan ke penerbit pasti novel-novel karyamu udah
berjajar sekarang”
“Ah masa sih, Lun?”
***
Setelah seminggu Luna
menyarankan Rani untuk mengirimkan tulisannya ke penerbit, akhirnya ia nurut
juga. Toh tidak ada salahnya mencoba. Hati kecilnya slalu berharap untuk
kehidupan yang lebih baik.
***
Tiga bulan berlalu,
Rani terus mengisi waktunya untuk menulis. Surat yang dikirim dari penerbit
terkenal tempat Rani mengirimkan tulisannya akhirnya tiba di rumah. Hatinya
ketar-ketir, ia penasaran dengan keputusan si penerbit. Apakah berisi MOU
penerbit atau malah surat penolakan? Ia tak , mampu menahan rasa penasarannya
lebih lama lagi sampai akhirnya ia membaca surat itu. Ya, surat yang di
tunggu-tunggu ternyata berisi penolakan. Ya, Tuhan! Ujian macam apa lagi ini?!
***
Bu Murni yang mengetahui kesedihan
anaknya, tidak ingin tinggal diam.
“Nak, semua butuh proses. Ga ada yang instan di dunia ini. Gagal lebih
baik loh dari pada ga nyoba sama sekali. Sekarang ibu mau tanya, apa yang
paling kamu mau saat ini?” nada lembut bu Murni saat berbicara slalu bisa
menenangkan Rani.
“Aku mau kehidupan kita lebih baik bu. Aku ga mau cacat tanpa prestasi”
“Nah, kalau gitu jadiin hal itu sebagai motivasi kamu. Ibu bantu d’oa
kok. Kamu harus punya cita-cita, nak jangan takut punya mimpi yang tinggi”
kalimat bu Murni benar-benar mampu menge,balikan semangat Rani.
***
Twitter yang sudah
beberapa minggu tak tersentuh oleh Rani, kali ini menemani hari minggunya.
Matanya berhenti di salah satu postingan yang berisi sayembara menulis novel
dengan hadiah beasiswa pendidikan di Australia. Rani langsung menyimpan
informasi tersebut. Senyum mengembang di bibirnya, dan batinnya bergeming
“tidak ada salahnya mencoba!”.
***
Seminggu sebelum deadline lomba ditutup. Rani sudah menyelesaiakn
tulisannya. Namun, ia tak ingin terburu-buru
mengumpulkan novel yang telah dibuat. Ia memeriksa lagi tulisannya khawatir ada
kesalahan-kesalahan kecil yang mempengaruhi penilaian juri. Benar saja, ada
beberapa kalimat yang salah ketik, dan kurang tanda baca. Usai membenahi
tulisannya, ia masih ingin mengecek ulang untuk meyakinkan. Merasa puas dengan
hasil karyanya, Rani pun akhirnya mengirimkan tulisannya. Tangannya mengklik
tulisan “kirim” di tab e-mail seraya hatinya berharap agar ada angin segar dari
tulisannya kali ini.
***
Setelah 2 bulan menunggu
proses penilaian, akhirnya datang juga hari pengumuman. Harap-harap cemas Rani
menunggu hasil. Rani sudah bersiap di depan laptop bersama ibunya. Tangannya
menggerakan kursor pada link “lihat pengumuman” sementara hatinya terus
mengucap do’a. Di kliknya link tersebut, dan…. Oh Tuhan! Ini mimpi! Rani dan
ibunya terkejut bukan main. Bu Murni mengucek matanya lalu kembali ke laptop
melihat nama siapa yang terpampang disana sebagai pemenang.
“Ibu…..!!! Rani menang! Rani bakal kuliah ke Australia bu”!
Bu Murni memeluk anaknya dengan erat. Bangga bercampur haru menguasai
dirinya.
“Ibu sudah bilang kan nak, jangan pernah takut punya mimpi yang tinggi”
“Makasih bu, pasti ini berkat do’a ibu juga”
Keterbatasan Rani ternyata tak lantas membuatnya pasrah. Dirinya semakin
yakin dengan mimpi-mimpinya yang masih terus ia rajut.
***